Wednesday, August 22, 2018

Membangun Sektor Keuangan untuk Kemandirian Pembangunan

Indonesia butuh bangun skema keuangan supaya dapat membiayai sendiri pembangunan nasional dengan berkaitan. Tanpa tingkat laju perkembangan yang tinggi, tidak mungkin saja Indonesia bertambah jadi negara berpenghasilan tinggi serta keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah (middle penghasilan trap). Telah 73 tahun Indonesia merdeka tetapi sampai sekarang masih adalah negara pengutang di tingkat internasional.

Indonesia terus-terusan menginginkan hibah atau sedekah dari beberapa negara kaya untuk tutup defisit ganda, yaitu APBN serta neraca pembayaran luar negeri. Prosentase penerimaan pajak pada produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2018 cuma sampai 11,5%, lebih rendah dibanding penerimaan dari hibah dan utang sebesar 12,8% dari PDB. Jumlahnya harus pajak yang miliki nomer pokok harus pajak (NPWP) juga masih tetap rendah, seputar 6-7% dari jumlahnya masyarakat Indonesia.

Menurut data Price WaterhouseCooper, kantor akuntan serta konsultan dunia, utang Indonesia pada tahun 2017 telah sampai US$ 38.008 triliun. Jumlahnya ini hampir 2x lipat dari utang Amerika Serikat serta India, tujuh kali lipat dari utang Jepang atau Tiongkok, serta sebelas kali lipat dari utang Prancis serta Inggris.

Dengan jumlahnya utang pemerintah yang makin bertambah, Indonesia susah untuk tumbuh dengan berkaitan, ditambah lagi jadi negara besar serta jaya dan gagah berdiri di lingkungan internasional. Penerimaan negara serta hasil export memang makin besar tapi dipakai untuk melunasi utang luar negeri, hingga makin menyusut dana yang ada untuk kepentingan pembangunan. Berbelanja modal pemerintah (2018: sebesar 1,4% pada PDB) begitu tidak cukuplah untuk meningkatkan tingkat laju pertumbunan ekonomi yang tinggi serta penciptaan lapangan kerja semakin besar.

Baca Juga : KM Tilongkabila dan Jadwal KM Tilongkabila

Industri keuangan yang mesti dibuat oleh Indonesia ialah, pertama, skema pajak, untuk menyehatkan keuangan negara dalam menguber trilogi tujuan kebijakan ekonomi makro yaitu: stabilisasi perekonomian, pemerataan, dan perkembangan. Pada saat Orde Baru, trilogi tujuan ekonomi makro, yang adalah arti pengetahuan ekonomi makro itu, jadikan menjadi jargon politik yaitu trilogi pembangunan ekonomi nasional. BUMN harus juga dapat untuk menyumbang pada kas negara, memberi balas layanan modal, serta sekaligus juga tingkatkan export untuk membuahkan devisa yang begitu dibutuhkan buat pembangunan nasional.

Ke-2, yang butuh dibuat ialah skema keuangan yang saat ini cuma bertumpu pada skema perbankan. Bursa Dampak Indonesia (BEI) mesti bisa di kembangkan jadi pasar modal yang dapat jadi pilihan pembelanjaan usaha.

Keuangan Negara, Karena rendahnya penerimaan pajak, semenjak awal Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia memercayakan pertolongan serta utang luar negeri dan cetak uang untuk tutup defisit biaya berbelanja. Dapartemen Keuangan jual surat utang negra (SUN) langsung pada Bank Indonesia (BI) tanpa agunan serta pembayaran kembali. Mobilisasi tabungan dalam negeri tidak berhasil karena telah berulang-kali pemerintah ingkar janji tidak melunasi obligasi atau surat utangnya.

Sampai tahun 1966, sumber utama pertolongan serta utang luar negeri ialah dari beberapa negara blok Sosialis. Tidak hanya tidak kaya, tehnologi beberapa negara Sosialis itu juga sangat terbelakang serta suku cadang barangnya juga susah didapat di pasar dunia. Itu penyebabnya mengapa mesin-mesin, pembangkit tenaga listrik, serta perlengkapan militer kita seringkali rusak serta tidak berperan. Cuma Stadion Gelanggang olahraga Bung Karno serta Jembatan Sungai Musi, menjadi sedekah Rusia, yang masih tetap berdiri kuat serta berperan dengan baik meskipun usianya telah lebih dari 46 tahun .

Sama dengan tahun 1950-an, Pemerintah Presiden Jokowi juga mengintrodusir amnesti buat penilap pajak pada tahun 2017-18. Info tentang objek pajak makin terbuka dengan dihapuskannya kerahasiaan rekening bank. Beberapa negara anggota G-20 juga sama-sama menukar info perpajakan antarnegara untuk memerangi usaha penggelapan pajak.

Akan tetapi, seperti di waktu lantas, hasil amnesti pajak di Indonesia belumlah seutuhnya menggembirakan karena yang ada cuma imbauan serta tidak ada aksi hukum pada beberapa penggelap pajak. Berlainan dengan di Indonesia, di beberapa negara lainnya (termasuk juga Singapura), penggelapan pajak merupakan perbuatan kriminil yang begitu serius.

Inflasi yang tinggi sampai tahun 1966 berlangsung akibatnya karena ada pencetakan uang yang terus-terusan berlangsung untuk tutup defisit APBN. Pemerintah bangun Monas, Gedung MPR/DPR serta Masjid Istiqlal dengan pencetakan uang baru oleh Bank Indonesia. Dengan argumen bank berjuang, BI dibikin jadi Departemen Pemerintahan untuk mempermudah saluran dana dari BI tutup defisit APBN. Mengakibatkan tingkat laju inflasi membubung hingga sampai diatas 650% pada tahun 1966. Ekonomi yang morat-marit itu menyebabkan pergantian pemerintahan.

Sebelum tahun 1966, telah 3x pemerintah lakukan sanering atau devaluasi tanpa hasil yang memuaskan. Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara saat itu memotong uang jadi separuh. Langkah yang sama dibarengi oleh Menteri Keuangan Notohamiprodjo serta Menteri Keuangan Sumarno yang kurangi nilai uang seperseribu pada tahun 1965. Akhirnya tidak ada serta yang berlangsung malah gejolak politik yang menjatuhkan pemerintahan. Ke-3 Menteri Keuangan itu ialah sarjana hukum yang tidak tahu pengetahuan ekonomi.

Simak Juga : Jadwal Kapal KM Tilongkabila dengan KM Ciremai

Lalu, pemerintah Orde Baru menunjuk beberapa teknokrat, PhD ekonomi lulusan Kampus California di Berkeley, untuk mengatur perekonomian negara. Mereka menyetop praktek pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang. Undang-Undang BI dirubah serta memberi tempat berdiri sendiri pada instansi itu yang terpisah dari Pemerintah. BI sekaligus juga dilarang untuk membelanjai defisit APBN.

Mulai tahun 1966, pemerintah berpindah pada hibah serta utang sah bersyarat lunak dari grup beberapa negara donor Barat yang tergabung dalam Grup Antarpemerintah buat Indonesia (Intergovernmental Grup on Indonesia/IGGI). Pembelanjaan defisit APBN dari hibah serta utang IGGI semacam ini berjalan saat 32 tahun umur Orde Baru sampai lengser pada tahun 1998.

Pergantian langkah pembelanjaan defisit APBN sudah bisa menahan tingkat laju inflasi dengan mencolok sampai 10% pada tahun 1969. Sesudah perekonomian bisa distabilisir, dimungkinkanlah untuk mengawali Repelita I pada tanggal 1 April 1969.

IGGI bubar sesudah runtuhnya Pemerintah Orde Baru. Tidak hanya alergi pada korupsi Orde Baru, beberapa negara donor itu tidak ingin memberi pertolongan untuk memulihkan modal industri perbankan nasional yang sudah bangkrut. Mulai tahun 1998, pemerintah keluarkan SUN untuk memulihkan modal bank-bank nasional serta tutup defisit APBN.

Sesudah berakhirnya program IMF, mulai tahun 2002, pemerintah jual SUN ke pasar dunia, termasuk juga bursa dampak New York, yang dinyatakan berbentuk valuta asing. Cuma Pemerintah Jepang yang ingin memikul beberapa dari resiko tidak berhasil bayar SUN yang di jual di negaranya supaya laris di jual di negara itu. SUN yang ditanggung oleh Pemerintah Jepang itu dikatakan sebagai Samurai bonds.

Saat ini, rasio utang pada PDB masih tetap sehat, sebesar 29,08% pada tahun 2018, kurang dari separuh batas maximum sebesar 60% menurut UU Keuangan Negara Tahun 2003. Undang-Undang itu sekaligus juga batasi jumlahnya utang tahun an pemerintah maximum sebesar 3% dari PDB.

Akan tetapi, ke-2 rasio itu tidak cukuplah untuk menghadapi krisis. Indonesia pada tahun 1997-98, terempas tidak dapat membayar utang karena kurs rupiah membubung dari Rp 2.300 sebelum krisis jadi diatas Rp 15.000 per dolar AS sesudah krisis. Jumlahnya utang berbentuk valuta asing memang tidak makin bertambah tetapi dalam rupiah bertambah jadi tujuh kali lipat.

Di lainnya pihak, pemerintah butuh menghindari pemborosan pengeluarannya. Salah satunya contoh pemborosan itu ialah pembangunan project kereta api super cepat Jakarta-Bandung dengan tehnologi serta utang dari RRT. Kecepatan kereta api RRT itu nanti sampai 350 km /jam, sedang rute antarkedua kota itu selama 143 km, mempunyai waktu tempuh kurang dari 40 menit. Ini adalah pemborosan. Ticket kereta api cepat yang mahal juga ada diluar jangkauan daya beli marhaen.

Pertanyaan yang lain, pembangunan infrastruktur Trans Kalimantan, Sulawesi serta Papua untuk angkut apakah, apakah ada penumpang serta barang yang akan diangkut? Pada jaman kolonial, pemodal swasta yang bangun jalan kereta api di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan sampai Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah serta Jawa Timur memakainya untuk mengangkat hasil kebun serta tambang dan penumpang. Jaringan kereta api punya pemerintah cuma di pantai Timur Aceh untuk mengangkat tentara menantang pemberontakan.

Industri Keuangan, Disaksikan dari nilai aktiva serta jumlahnya kantor cabangnya, industri perbankan merupakan pokok dari industri keuangan Indonesia. Fungsi bursa dampak masih tetap kecil karena baik saham ataupun obligasi belumlah adalah sumber pilihan buat pembelanjaan dunia usaha, termasuk juga BUMN.

Pada sekarang ini, pekerjaan BEI cuma bertumpu pada jual beli SUN (Surat Utang Negara) yang nilainya dinyatakan dalam rupiah. Lebih dari 70% dari SUN yang di jual di BEI ialah dikuasai oleh pemodal asing. Istitutional investors Indonesia, baik berbentuk dana pensiun ataupun asuransi masih tetap jauh terbelakang.

Saat ini, pasar asuransi serta dana pensiun itu juga dikuasai oleh segelintir perusahaan asing. Selain itu, Bank Tabungan Pos (BTP) telah menjadi bank komersial serta penyedia credit perumahan. BRI sekarang menjadi bank yang melayani konglomerat. Karena dominannya fungsi pemodal asing, BEJ jadi arena spekulasi devisa yang memunculkan kerawanan perekonomian.

Selain itu, inti industri perbankan nasional ialah empat bank negara (Mandiri, BNI, BRI, serta BTN) dan 26 BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang tidak efektif serta tidak produktif. Kehidupan dari bank-bank negara itu ialah begitu bergantung pada perlindungan pasar yang disiapkan oleh pemerintah serta tidak dari pertarungan pasar yang sehat.

Semua kekayaan serta transaksi keuangan bidang negara serta BUMN merupakan hak monopoli bank-bank negara serta BPD. Bank-bank negara serta BPD ditanggung pemerintah tidak akan bangkrut. Jika kekurangan likuiditas serta modal, BUMN akan mohon suntikan dana dari pemerintah. Untuk menyehatkan likuiditasnya, pemerintah memindah-mindahkan dananya diantara ke empat bank negara itu. Bank-bank negara ini dapat ditanggung oleh pemerintah untuk tidak akan bangkrut.

Simak Juga : Jadwal KM Ciremai dan Jadwal Kapal KM Ciremai

Karena perlindungan pasar, produk bank-bank negara kita begitu terbelakang di banding dengan bank di beberapa negara lainnya. Bank-bank negara tetangga (Bangkok Bank dari Thailand, Maybank serta CIMB Niaga dari Malaysia, OUB serta DBS dari Singapura) bukan adalah saingan bank-bank negara Indonesia. Untuk bank-bank asing itu,

Indonesia adalah surga sumber keuntungan. Demikian sebaliknya, nasabah bank-bank negara diluar negeri terbatas pada kantor kedutaan, BUMN serta kirim kiriman uang TKI ke kampung halamannya, tidak ada perusahaan besar lokal.

Pertarungan pasar merupakan hanya satu obat manjur untuk tingkatkan efisiensi serta produktivitas bank-bank negara. Untuk tingkatkan pertarungan pasar itu, hak monopoli bank-bank negara butuh dikurangi serta pasar butuh di buka lebar buat bank-bank asing.

Bank Tabungan Pos butuh dibuat kembali serta dihubungkan dengan jaringan Kantor Pos yang jaringannya begitu luas melewati jumlahnya kantor bank. Tidak hanya dari mobilisasi tabungan penduduk, menabung di Kantor Pos adalah evaluasi pada pemakaian instansi keuangan moderen. Selain itu, Bank Rakyat Indonesia (BRI) butuh dikembalikan fungsinya menjadi bank buat petani, nelayan, koperasi serta entrepreneur kecil serta menengah.

BUMN butuh didorong berpartisipasi untuk tingkatkan export. Mengapa PTP III tidak dapat memproses buah kelapa sawit serta mengekspor akhirnya ke luar negeri? Mengapa Salim Grup, Cahaya Mas serta Sitorus dapat? Mengapa Cahaya Mas dapat kuasai pasar beberapa type kertas di Asia serta Australia, sedang pabrik kertas Padalarang, Gresik serta Kraft Aceh tidak dapat?

Ikuti jejak Indomie punya Group Salim, usaha umrah serta haji Indonesia mesti bisa jadikan menjadi promotor export baju haji, makanan serta restoran, angkutan darat serta penginapan kepentingan jamaah itu di Saudi Arabia. Karena besarnya masyarakat muslim, Indonesia merupakan pengirim jamaah umrah serta haji paling besar didunia yang membutuhkan baju haji, makanan, angkutan serta penginapan saat melaksanakan ibadah.

Sampai sekarang ini, setiba di lapangan terbang Jeddah serta Madinah, semua jamaah bertukar baju buatan RRT: pakaian Ihram, ikat pinggang, kerudung, peci, tasbih sampai sandal serta sajadah. Beberapa toko kepentingan pakaian haji di Tanah Abang, Yogya, Solo serta tempat yang lain di Indonesia juga penuh dengan beberapa barang buatan RRT itu. Walau sebenarnya, pakaian Ihram serta beberapa barang itu dapat dibikin oleh drop-out Sekolah Basic di Indonesia.

Demikian sebaliknya, dengan bermodalkan label halal, Group Salim telah buka pabrik mie instant di beberapa negara Islam: Saudi Arabia, Nigeria, Maroko, serta di negara sisa Yugoslavia. Anwar Nasution, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi serta Usaha Kampus Indonesia

No comments:

Post a Comment